Peringkat 7 dari Bawah: Apakah Kita Sedang Menggali Kuburan Intelektual Sendiri?

Menggali Kuburan Intelektual Nasional

I. Goresan Luka di Papan Skor Global

Bayangkan sebuah panggung global. Semua pelajar SMP dari berbagai negara diuji kemampuan fundamentalnya dalam tiga domain utama: Membaca, Matematika, dan Sains. Hasilnya, survei PISA (Program for International Student Assessment) tiga tahunan menggores luka yang memalukan: Indonesia berada di peringkat 71 secara keseluruhan, atau peringkat ketujuh dari bawah.

Ironisnya, kita kalah dari negara-negara yang infrastruktur pendidikannya baru berdiri atau bahkan memiliki usia negara yang jauh lebih muda.

Fakta ini memunculkan pertanyaan yang menusuk: Mengapa, setelah puluhan tahun kemerdekaan, siswa kita kesulitan menjawab teka-teki dasar yang menguji kemampuan nalar dan pemecahan masalah? Lebih menyedihkan lagi, tren kemampuan belajar pelajar Indonesia cenderung terus menurun belakangan ini.

II. Ganti ‘Menghafal’ dengan ‘Memahami’: Bencana Kurikulum yang Hilang Konteks

Mengapa hasil PISA begitu rendah? Jawabannya mungkin ada pada kurikulum dan tradisi pengajaran kita sendiri.

Pendidikan kita sering kali terjebak dalam jebakan “budaya menghafal.” Siswa diajarkan rumus, teori, dan definisi, tetapi luput dari esensi mengapa materi tersebut relevan dalam kehidupan nyata.

Contoh Sederhana: Kita belajar rumus fisika atau matematika, tetapi sekolah lupa menjelaskan bahwa jenis masalah tersebut adalah tantangan yang kita hadapi sehari-hari. Pelajar kita diajari cara menghitung, tetapi tidak diajari cara berpikir.

PISA dirancang untuk menguji literasi fungsional—kemampuan siswa menggunakan pengetahuan yang dipelajari untuk memecahkan masalah praktis. Selama kita masih memprioritaskan hafalan di atas nalar, kita akan terus gagal di arena global.

III. PISA Bukan Akhir Dunia, Tetapi Alarm Bahaya Nyata

Tentu saja, tes PISA bukanlah satu-satunya barometer yang menentukan kualitas pendidikan nasional. Ada dimensi lain yang tidak diukur, seperti karakter, kreativitas, atau nilai-nilai lokal.

Namun, hasil yang jomplang tersebut tidak bisa diabaikan sebagai sekadar statistik. Ada faktor-faktor krusial di luar kelas yang turut memperparah kondisi:

  • Disparitas Sosial Ekonomi: Perbedaan status sosial ekonomi yang timpang antar pelajar menyebabkan hasil tes yang jauh berbeda (jomplang). Siswa dengan akses terbatas pada fasilitas dan sumber daya belajar akan tertinggal.
  • Masalah Struktural: Masalah distribusi guru, kualitas fasilitas sekolah, dan ketersediaan buku yang merata juga menjadi batu sandungan.
  • Panggilan Darurat: Membuktikan Ucapan Sang Pendiri Bangsa

Melihat data yang menyedihkan ini, langkah-langkah kebijakan perlu segera diambil. Penghapusan Ujian Nasional (UN)—yang dianggap memicu budaya menghafal—bisa menjadi salah satu langkah awal yang diperlukan untuk mereformasi sistem. Namun, itu tidak cukup.

Kita butuh perubahan paradigma yang radikal, dari sekadar lulus ujian menjadi menghasilkan pemikir kritis.

Para Bapak Pendiri Bangsa pernah berpesan, “Hanya satu tanah yang bisa disebut tanah airku. Ia berkembang dengan usaha dan usaha itu adalah usahaku.”

Momen ini adalah panggilan darurat bagi kita semua. Hasil PISA yang buruk bukan hanya cerminan kegagalan sistem, tetapi juga tanggung jawab kolektif. Di tengah fakta menyedihkan ini, kitalah—guru, orang tua, pelajar, dan pembuat kebijakan—yang harus ikut berjuang untuk membalikkan tren penurunan ini. Kualitas masa depan bangsa ini ada di tangan generasi yang kini sedang kesulitan menjawab soal-soal di lembar ujian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *